Setelah 2 minggu menghabiskan waktu di sebuah resort mewah di kawasan Arizona (jangan iri, karena tidak benar-benar mewah, dan sebagian besar waktu saya harus bekerja dan menghadapi counterpart yang sangat menyebalkan), saya benar-benar bahagia untuk kembali ke Belanda, basecamp saya saat ini. Kalau dipikir-pikir, tidak pernah saya merasa begitu bahagia untuk terbang ke Belanda sampai saat itu. Bahkan saya tidak peduli kalau barang yang saya pesan on-line tidak bisa dikirim sebelum saya harus meninggalkan Amerika. I just did't care. I had been through too many things in these last 2 weeks. Just send me back to where I belong (or simply because I know I will be back in less than a month, so I still have the chance to pick up my stuff from Amazon).
Pagi itu, dengan semangat saya check-out dan mengingatkan bos saya untuk pesan taksi ke bandara (yeah, who do you think the boss is?). Kami masih punya waktu 2 sampai 3 jam untuk menyelesaikan pekerjaan dan meeting dengan orang perusahaan seberang. Jam 11 siang kami kembali ke hotel untuk mengambil barang-barang dan langsung berangkat ke bandara. Pak supir yang berperawakan besar sudah menunggu dengan manis di lobby hotel dan memarkir taksinya yang ternyata RollsRoyce (woohoo!!!) vintage (baca:butut). Beliau membantu kami memasukkan barang-barang ke bagasi mobil, dan saat itulah saya tahu bahwa dia seorang muslim. Sebagai sesama muslim rasanya pengen banget ngasih tau bahwa saya juga muslim loh! Tapi dengan bos saya yang Belgia totok, saya rasa suasananya akan menjadi aneh. Selain itu, saya juga agak malas kalau harus mengalami hal serupa yang saya alami seminggu sebelumnya ketika supir taksi yang saya tumpangi juga seorang muslim.
Jadi, seminggu sebelumnya saya memutuskan untuk menghabiskan hari Minggu dengan mengikuti tour ke Grand Canyon. Berhubung hotel saya ini agak di antah-berantah, saya harus naik taksi ke pick-up point terdekat, begitu pula ketika saya pulang ke hotel pada malam harinya. Ketika meminta tolong respsionis hotel untuk memesankan taksi pulang, saya berharap akan mendapatkan taksi yang sama bagusnya dengan ketika saya berangkat pagi itu. Sebuah taksi mendekat, dan pak supir yang orang Amerika Afrika bertanya apakah saya yang memesan taksinya. Karena saya satu-satunya orang yang duduk di situ, juga karena saya ingin cepat-cepat kembali ke hotel, langsung saja saya bilang iya, dan duduk di taksinya. Taksi baru saja keluar pelataran kompleks, ketika saya memberi tahu tujuan (atau mungkin sebenarnya Pak Supir duluan yang bertanya tujuan saya), dalam dialog yang kurang lebih sebagai berikut dan semuanya terjadi dalam bahasa Inggris:
Supir: Where are you going?
Saya: Crowne Plaza San Marcos please. In Chandler.
Supir: Lewat jalan tol nomor 11 kan?
Saya: Errrr.... (dalam hati: meneketehe!!!!) I don't know
It's in Chandler, right in the center (dan saya sebutkan alamat lengkap hotel saya tersebut)
Supir: Can you check your GPS? You have GPS?
Saya: (dalam hati: WTH! bukannya harusnya sampeyan yang punya GPS ya?)
No, the GPS in my cellphone is not working
Supir: Kepriben toh sampeyan, mau pergi-pergi ko ga tau jalan?
Saya: (khamfredh nih Pak Supir, bukannya yang harus tau jalan situ ya?)
Akhirnya Pak Supir memutuskan untuk menelepon rekan sejawatnya, dan mulai berbicara dalam bahasa yang sangat aneh. Saya bukan ahli bahasa, tapi bahasa yang dia gunakan baru pertama kalinya saya dengar seumur hidup. Seperti campuran bahasa Arab dan bahasa Klingon. Setelah menutup teleponnya, Pak Supir seperti mendapatkan pencerahan. Dia mengkonfirmasi apakah kami berada di jalan yang benar, dan saya mengiyakan saja meskipun hanya dengan 30% keyakinan. Saya lebih tertarik dengan bahasa apa yang barusan dia gunakan dalam percakapan di telepon. Entah bagaimana, tapi akhirnya saya menemukan momen yang tepat untuk bertanya negara asal dia. Tentu saja informasi ini saya tukar dengan memberi tahu asal negara saya. Pak Supir yang bernama Omar ini ternyata berasal dari Somalia. Satu pertanyaan tentang asal negara ini saja mampu memancing Omar untuk bercerita dengan berapi-api bahwa dia orang Somalia, dia bangga dengan identitasnya, dia bangga dengan agamanya, betapa dia sangat rindu kampung halaman dan ingin segera pulang ke sana untuk selama-lamanya. Yeah, kurang lebih sama dengan apa yang saya rasakan.
Mengetahui saya berasal dari Indonesia dan juga seorang muslim, dia semangat sekali melontarkan bermacam-macam pertanyaan sulit. Ternyata dia berminat untuk mengimpor barang dari Indonesia. Pertanyaannya bermulai dari harga-harga barang di Indonesia, seperti pompa air, mesin pembuat jus, mesin pembuat samosa, sampai satu stel jas baru. Benar-benar membuat saya kewalahan. Malah ketika kami membahas mesin pembuat samosa yang saya tidak pernah tahu wujudnya seperti apa, dia sempat kesal karena saya tidak tahu salah satu bahan yang dia sebutkan. Sesuatu yang terdengar seperti "bashak", dan dia menjelaskan bahwa itu makanan Nabi Isa a.s. yang diceritakan dalam Al Qur'an, bahkan dia menyitir salah satu ayat. Saya masih tidak mengerti juga apa yang dia maksud, sampai dia bilang "Kamu ngga pernah baca Al-Quran ya?!". Jedaaaaaaarrrrrr....... Sampai di sini saja perjumpaan kita Pak Supir. Anda telah melukai perasaan saya. Selain itu, kami juga sudah sampai di tujuan.
Kembali ke hari di mana saya harus terbang ke Amsterdam, akhirnya sampailah kami di Phoenix Sky Harbour Airport, the friendliest airport in America (mereka yang bilang sendiri nih). Setelah check-in, saya dan bos saya berjalan menuju semacam immigration check, but I'm not sure it's immigration check because they didn't even check my visa or my permit in Belanda (sebagai pemegang paspor Indonesia yang tinggal di Belanda, saya tidak punya visa Belanda di paspor saya, melaikan kartu izin tinggal yang biasanya di periksa petugas imigrasi negara keberangkatan). Saya di sambut oleh seorang petugas yang tampak kepanasan, kelelahan, sehingga ekspresi wajah yang ditunjukkannya pun menjadi menyebalkan. Selamat datang di bandara paling ramah se-Amerika.
Setelah berhasil melalui pemeriksaan keamanan yang panjang lebar, di mana bos saya dipaksa untuk membagasikan tasnya atau membuang pisau cukur yang baru dibelinya seharga $200, kami pun bisa duduk dengan tenang menikmati hamburger yang konon menurut teman bos saya merupakan burger terenak (ya, nama restoran burgernya adalah Wendy's. Doh!). Good call of my boss, karena dia pikir di pesawat antarnegara bagian (kami harus terbang ke Minneapolis dulu sebelum ke Amsterdam) tidak akan disajikan makanan. Benar saja, 3 jam penerbangan tanpa makanan sedikitpun, ditambah kedatangan pesawat agak terlambat. Saya tidak yakin berapa lama pesawat terlambat, namun hal ini membuat kami berdua cukup khawatir. Dengan jadwal normal, kami hanya memiliki waktu satu jam untuk berganti pesawat di Minneapolis. Dengan keterlambatan ini kami hanya punya waktu sepuluh menit untuk pindah pesawat! Kami tengah berlari di sepanjang koridor bandara Minneapolis-Saint Paul ketika saya mendengar nama depan saya di panggil. Saya tidak punya waktu lagi untuk mengecek ulang pintu keberangkatan mana yang harus saya tuju, sampai akhirnya saya sampai di Gate 6 yang saya yakini sebagai gate yang benar. Seorang pria tua penjaga pintu keberangkatan, berperawakan Jepang dan bahasa Inggris beraksen Jepang melambaikan tangannya. Tanpa berpikir dua kali saya masuk. Sesampainya di pintu pesawat, seorang pramugari berpenampilan Asia juga menyambut saya dan mempersilakan saya masuk. Semua orang memandang saya dengan sinis, karena saya menunda keberangkatan pesawat. Penumpang pertama yang saya perhatikan juga beberapa orang dengan wajah Asia. Ketika saya hendak menyimpan tas saya di kompartemen pesawat, 2 orang pramugari membatu saya untuk menyimpankan jaket saya dan menawari saya minuman. Lagi-lagi salah satunya berwajah Asia. Sekarang saya mulai khawatir, karena bos saya juga tidak kunjung muncul, dan tempat duduk di samping saya sudah diisi oleh seorang kakek Amerika. Jangan bilang ini pesawat ke Beijing!
Masih dengan nafas memburu, saya menunjukkan boarding pass saya ke pramugari yang menyajikan minuman selamat datang, dan bertanya: "This is the correct flight, right?". Sang pramugari tersenyum, dan berkata "Yes, this is the flight to Amsterdam". Fyuuuuuhhhhh.... Ketika saya baru saja duduk, sang kakek Amerika berwajah ramah di samping saya menyapa saya dengan dialog pembuka "You are so late". Makasih deh.
thanks for the good laugh.. wekekekekeke
ReplyDeletegwe cekikikan di depan screen
trus kemane bos lu
he came much later than me. but after the flight attendant confirm the destination, I didn't really care if he could make it or not. turned out that the airlines had cancelled his ticket (but not mine) and put him in the next flight on the following day.
ReplyDelete