Friday, June 7, 2013

Lodges along the way

Memilih penginapan ketika berpetualang merupakan tantangan bagi saya. Salah memilih tempat menginap bisa mengubah mood sepanjang perjalanan. Tergantung pada perjalanan yang saya jalani, saya memilih tempat menginap dengan motivasi yang berbeda-beda. Sering kali saya memilih penginapan yang super murah hanya untuk menaruh barang, tidur, dan fasilitas kamar mandi dasar saja. Walaupun begitu, saya tetap memiliki standar yang cukup tinggi untuk penginapan pada berbagai kesempatan lainnya. Dari pengalaman beberapa tahun terakhir, saya memiliki kenangan di tempat-tempat saya menginap baik karena begitu baiknya fasilitas dan pengalaman yang diberikan, maupun sebaliknya.

The most traumatic ones
Hotel Si Fulan (saya lupa namanya), Palu, Indonesia
I ended up in this hotel when I was in transit back from Morowali, the edge of Sulawesi Tengah, to catch my flight back to Jakarta from Palu. My client, who accompanied me and my teammate to Palu said that she always stayed in this hotel when travelling to Palu. I didn't have any objection when she booked the rooms for each of us, and judging from the city itself (with all due respect), I thought this hotel was one of the most proper one. Turned out it became kind of trauma for me. I can assure you that it was the worst hotel I have ever stayed in.

The room was quite big for me, but it was damped and dodgy. Bed cover-nya terlihat lusuh, I had no idea when was the last time the sent it to laundry, dan terlihat bercak-bercak di dinding dan langit-langit kamar seperti bekas rembesan air. Dari sini saja saya sudah agak ragu untuk menyentuh tempat tidur dan bantalnya. Yang lebih membuat saya histeris adalah kamar mandinya! Bercak hitam pada lantai kamar mandi, membuat saya tidak mau melepas sepatu ketika memasukinya. Di cermin kamar mandi tertempel stiker "Dilarang membawa wanita panggilan ke kamar" yang membuat saya semakin was-was dengan kebersihan kamar hotel ini. Kejutan lainnya adalah ketika saya mencuci tangan di wastafel, ternyata airnya langsung jatuh ke lantai, karena saluran pipa wastafelnya ternyata tidak ada! Eugh! Malam itu saya memutuskan untuk tidur dengan membungkus diri rapat-rapat - kaos kaki, celana panjang, dan jaket ber-capuchon, serta ke kamar mandi jika benar-benar perlu. Untung hanya semalam.

Hostel John Doe (lupa juga namanya), Kuala Lumpur, Malaysia
Di penghujung perjalanan saya mengunjungi Vietnam, Kamboja, dan Laos saya memutuskan untuk menghabiskan sehari atau dua hari di Malaysia, karena pesawat termurah yang bisa membawa saya pulang ke Jakarta harus melalui Kuala Lumpur. Pilihan saya jatuh pada kota Melaka, karena reputasinya sebagai kota wisata dan jaraknya yang hanya sekitar satu jam perjalanan dari Kuala Lumpur.

Malam itu, setibanya saya di Kuala Lumpur saya langsung mencari informasi bis ke Melaka. Karena terlalu malam, saya melewatkan bis terakhir yang dapat membawa saya langsung dari bandara ke kota tersebut. Mungkin karena merasa iba, sang petugas tourist information, pemuda keturunan India yang sangat ramah, memberikan alternatif untuk mengejar bis dari Terminal Bukit Jalil. Akan tetapi dia sendiri tidak dapat menjamin apakah masih ada bis yang berangkat malam itu atau tidak. Akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke Bukit Jalil, karena tidak ingin menginap di bandara setelah mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan dari petugas imigrasi Malaysia.

Malang bagi saya, ternyata bis terakhir ke Melaka pun baru saja bertolak dari Bukit Jalil. Saya agak panik karena saat itu sudah hampir tengah malam dan menginap di terminal bis adalah hal yang sangat tidak mungkin buat saya. Setelah bertanya mengenai penginapan terdekat, saya akhirnya menaiki bis terakhir ke daerah Pudu yang direkomendasikan oleh petugas tiket bis di terminal. Pudu tampaknya merupakan terminal bis lama sebelum dipindahkan ke Bukit Jalil. Saya melihat beberapa, namun tidak banyak, penginapan murah di sepanjang jalannya. Sebelum saya akhirnya memutuskan untuk memasuki salah satu penginapan tersebut, saya sempat berpikir untuk bergabung dengan beberapa backpacker yang tampaknya akan menunggu pagi di trotoar jalanan. Namun rasa lelah dan beberapa pertimbangan lain membuat saya memutuskan untuk menghabiskan beberapa ringgit demi mendapat tempat yang wajar untuk beristirahat.

Saya menaiki tangga yang diterangi lampu remang-remang mengikuti petunjuk ke arah lobby, sebuah ruangan yang bahkan lebih gelap dari koridor tangga yang saya baru saja saya naiki. Seorang pria India, yang saya yakini sebagai resepsionis, duduk di sana dan hanya memberikan isyarat wajah ketika saya tiba. Dia memberikan saya kunci kamar single tanpa pilihan untuk tidur di dorm yang sebenarnya menjadi preferensi saya karena uang saya hampir habis. Karena sudah sangat malam akhirnya saya menerima kunci tersebut dan melunasi pembayaran saat itu juga. Kamar saya terletak di ujung koridor dengan jendela menghadap ke arah jalan raya. Saya sendiri bingung mana yang lebih menjijikkan, kamar ini atau kamar hotel di Palu karena secara kondisi keduanya hampir sama. Seluruh kamar hampir terisi oleh ranjang queen size yang terbungkus sehelai seprai yang tipis dan dekil. Selain itu hanya ada ruang super kecil untuk memasuki kamar. Bahkan pintu kamar pun tidak bisa dibuka penuh karena langsung terbentur ranjang. Sempat terlintas di pikiran saya "Kamar pembantu di rumah aja jauh lebih bagus dari ini". Malam itu saya tidur dengan tubuh terbungkus rapat oleh jaket dan sarung. Pagi-pagi sekali, ketika saya melihat keluar dan yakin kehidupan telah di mulai di luar sana, saya langsung angkat kaki tanpa permisi.

Rambutan, Granada, Spanyol
Alasan saya memilih hostel ini adalah karena review yang sangat bagus dari orang-orang yang pernah menginap di sana. Hostel ini digambarkan sebagai hostel dengan pemandangan terbaik ke arah Al Hambra. Tanpa berpikir dua kali, saya memesan satu ranjang di hostel ini. Setibanya di Granada, saya membutuhkan usaha yang sangat besar untuk menemukan hostel ini. Granada merupakan kota tua yang sangat cantik dan berbukit-bukit. Akhirnya saya mengerti apa yang dimaksud dengan pemandangan terbaik di Granada. Ya, hostel ini berada di tengah-tengah bukit yang berseberangan dengan Al Hambra. Untuk menaiki dan menuruni bukit ini saya memerlukan waktu sekitar setengah jam sekali jalan. Dan setengah jam lagi menaiki bukit lainnya untuk mencapai Al Hambra.

Sebenarnya ada hal yang lebih menarik mengenai hostel ini, yaitu penghuninya. Saya berbagi kamar dengan seorang gadis Australia. Penghuni lainnya yang saya temui adalah seorang mantan chef dari Australia, dan seorang pemuda Jerman yang outgoing. Ada setidaknya satu orang tamu lainnya yang tidak pernah saya lihat wajahnya, namun saya pernah mendengar pria ini meminta kami berempat untuk tidak terlalu berisik.

Gadis Australia: saya tidak pernah berinteraksi dengannya di siang hari karena tentu saja selama siang hari saya sibuk berjalan-jalan sementara dia sibuk tidur. Sebenarnya gadis ini cukup menyenangkan namun tampak seperti orang yang selalu mabuk atau fly ketika berbicara. Sedikit mumble dan overly happy. Dia juga orang yang mengundang saya ke pesta kostum bersama dua orang lainnya pada malam kedua saya di sana. Tentu saja yang dimaksud dengan pesta kostum adalah kostum ala pemuda Australia (kaos dan celana longgar), kostum ala pemuda Jerma (kemeja longgar dan celana pendek), dan kostum ala pemuda Indonesia (apapun yang saya kenakan saat itu). Si gadis sendiri mengenakan kostum tikus (atau kucing) yang entah dia temukan di mana.

Mantan chef dari Australia: saya sempat bertemu dengan dia pagi pertama di sana. Saya bertanya arah jalan paling cepat menuju pusat kota karena saya berharap bisa menghabiskan waktu lebih cepat dari 30 menit untuk menuruni bukit tersebut, dan dia menjawab pertanyaan saya dengan agak sinis (atau dia hanya bingung kenapa saya melontarkan pertanyaan tersebut). Namun selama pesta kostum malam itu, dia bersikap cukup ramah dan bercerita bagaimana dia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai chef di Australia dan berakhir dengan tinggal di Rambutan selama berbulan-bulan. Another guy in the quarter life crisis.

Pemuda Jerman yang outgoing: nothing much about him, but he was really fun and outgoing. I always remember his joke about the use of thong in several English-speaking countries.

Hostel Jane Doe (lupa lagi namanya), Amsterdam, Belanda
Saya dan dua orang teman memilih hostel ini secara kebetulan karena kami tidak dapat menemukan hostel yang kami tuju sebelumnya. Salah satu hostel termahal yang kami datangi selama 2 minggu perjalanan keliling Eropa, yang sama sekali tidak berbanding lurus dengan fasilitas yang ditawarkan. Kami memutuskan untuk menginap di hostel ini setelah membaca iklan di jendela depan yang kira-kira berbunyi "Dorm from EUR 25: Hot water, Internet, Locker, Safe Box".
Untuk backpaker pemula seperti kami, yang paling penting tentu saja keamanan barang-barang bawaan, di samping harga yang terjangkau. Dengan modal kepercayaan iklan tersebut, kami setuju untuk menyewa 3 tempat tidur di dorm yang dapat diisi 6 orang. Sang resepsionis mempersilakan kami untuk menyimpan tas-tas ransel besar di loker yang sebenarnya adalah ruangan bawah tanah yang kuncinya dapat diakses oleh siapa saja yang menginap di sana. Kami agak panik dengan keamanan barang-barang kami setalah mengetahui bahwa loker yang di maksud bukan benar-benar loker. Meskipun di dindingnya tertulis "Kamar ini diawasi kamera pengintai", but when you lose your stuff, what can you do? Karena sudah membayar sewa kami hanya bisa berdoa. Sebelum naik ke kamar, kami mengembalikan kunci loker pada sang resepsionis dan dia hanya menggeletakkannya di meja bar. Oh dear....

Kamar kami berada di lantai paling atas hostel yang menempati tipikal rumah kolom Belanda di Amsterdam. Ini berarti kami harus mendaki beribu-ribu anak tangga yang sangat curam. Sesampainya di kamar kami memilih ranjang masing-masing dan bergiliran ke kamar mandi untuk mandi atau you know what. Sebagai traveler pemula, saya sangat tidak terbiasa untuk memanfaatkan fasilitas toilet umum selain untuk buang air kecil. Toilet di penginapan adalah harapan saya untuk dapat melakukan ritual-ritual kamar mandi secara nyaman. Apa daya ternyata kami tertipu lagi. Selain pintu kamar dan pintu kamar mandi yang tidak dapat di kunci, ternyata toilet flush di lantai paling atas ini tidak berfungsi dengan maksimal. Saya harus menghabiskan waktu agak lama di kamar mandi untuk dapat menyelesaikan krisi ini. Deymn!

Setelah siap berpetualang di Amsterdam sore itu, kami berpikir untuk menitipkan barang-barang berharga mengingat Amsterdam sangat ramai dan kami tidak ingin mengalami insiden seperti kehilangan paspor. Sang resepsionis melayani kami dengan ramah dan berkata "Just put your stuff in this envelope and don't forget to put your name. I'll put it in the box." Kami hanya bisa berpandangan dan berbisik "Forget it."

Hotel Nieuwe Slotania, Amsterdam, Belanda
Knowing the Dutch hospitality, I should have said no when a friend offerred me to take his place in this hotel one day before a competition in Amsterdam. Namun karena gratis, saya iya-kan saja tawaran tersebut. Lokasi hotel ini jauh di pinggiran kota Amsterdam. Butuh waktu cukup lama untuk mencapai hotel ini dengan tram atau bis dari stasiun Amsterdam Centraal.

Hotel ini ditunjuk sebagai official accomodation bagi para peserta kompetisi, dan tampaknya resepsionis yang bertugas sore itu cukup kewalahan dengan pengaturan kamar para peserta karena banyak di antara kami yang ingin bertukar kamar sesuai dengan tim masing-masing. Seorang teman saya sempat dibentak oleh sang resepsionis karena mengulang permintaan untuk disatukan dalam kamar yang sama dengan anggota timnya yang lain. "Do you hear what I say???" kira-kira begitu kata sang resepsionis. Thanks for the hospitality. What's the name of the hotel again? SLUTonia?

The most memorable ones
Hotel Pantes, Yogyakarta, Indonesia
Menurut saya, hotel ini berada di urutan paling atas untuk value for money. Hanya Rp. 50,000 per malam (harga tahun 2008 dan saya lupa per kamar atau per orang, karena saya berbagi kamar dengan seorang teman), Anda mendapatkan fasilitas dan pengalaman yang biasanya orang-orang take it for granted, tapi untuk seorang budget traveler sangat berarti. Dalam 30 detik berjalan kaki saja, Anda akan tiba di Malioboro. Yep, hotel ini berlokasi di belakang hotel Mutiara. Jalan masuknya dari gang sebelah hotel tersebut. Kalau anda menyusuri gang tersebut ke arah yang berlawanan, maka Anda akan mencapai jalan dekat hotel Melia Purosani. Lokasi ini sangat prima dan berperan besar untuk menekan ongkos sewa becak atau kendaraan umum lainnya. Tepat di seberang losmen terdapat mushalla yang senantiasa mengumandangkan adzan di kelima waktu shalat, sehingga Anda yang harus bangun pagi tidak akan terlambat bangun.

Kamar-kamar hotel ini tersusun di ruangan terbuka yang berjajar dari Utara ke Selatan (kira-kira begitu). Saya sangat suka dengan kamarnya. Tipikal losmen Jogja zaman-zaman sinetron Losmen Bu Broto. Kamarnya hanya terdiri dari 2 ranjang single dengan kasur dan bantal kapuk serta selimut tipis belang-belang yang sempat populer di kalangan rumah tangga Indonesia beberapa dekade silam. Pemilik losmen melengkapi kamar ini dengan dua buah meja dan bangku kecil ala bangku sekolah ketika saya SD, dan kipas angin tempel untuk menetralisir udara Jogja yang hangat. But the best of all adalah saya merasa bahwa kamar ini bersih. As the part of the hospitality, pengelola hotel akan menyajikan teh manis hangat di beranda kamar anda setiap sore. Sweet....

Kebetulan di kamar yang saya sewa, kamar mandi terpisah dan digunakan bersama-sama dengan beberapa penghuni yang lain. Walaupun demikian, kamar mandi ini selalu terjaga kebersihannya. Jika Anda tidak terbiasa menggunakan kloset jongkok, maka Anda dapat pura-pura menjadi tamu di hotel Mutiara dan ikut menggunakan kamar mandi yang ada di lobby hotel.

Pension Platan, Praha, Republik Ceko
I really have to thank my travel partner for booking this apartment and the one in Budapest during our summer holiday in 2011. Frankly, I really had a great fun of staying in both apartments. Pension Platan terletak di pinggiran pusat kota Praha. Dengan hanya 5 menit berjalan kaki, kami dapat mencapai salah satu menara bergaya Gothic yang pernah menjadi batas kota pada zamannya. Kami sempat sangsi dengan lokasi dan penampakan apartemen ini sampai akhirnya kami masuk dan tinggal selama beberapa hari. Benar-benar penginapan yang menyenangkan. Sebenarnya yang menarik buat saya adalah proses cek-in di penginapan ini.

Beberapa minggu sebelum keberangkatan, teman saya sudah mempersiapkan segalanya, temasuk memesan apartemen untuk 4 orang di tempat-tempat yang kami tuju. Langit mendung dan hujan kecil menyambut kedatangan kami di Praha. Setelah berhasil mencapai stasiun metro yang diindikasikan dalam petunjuk dari penginapan, kami memerlukan beberapa saat untuk akhirnya menemukan pintu masuk penginapan. Sambil berlindung dari hujan yang semakin deras kami berdiri kebingungan di depan sebuah gedung tua dan gelap bergaya komunis, mencari jalan masuknya. Setelah mencari-cari beberapa saat dan membaca kembali instruksi yang diberikan pengelola apartemen melalui e-mail, kami menemukan petunjuk dari sang pengelola untuk mengecek sebuak kotak tersembunyi disekitar pintu gerbang, menemukan kunci untuk membuka gerbang tersebut dengan melakukan ritual-ritual tertentu. Persis seperti petualangan 5 sekawan!

Sebuah koridor gelap menyambut kami di balik pintu kayu raksasa. Hampir di ujung koridor, kami mendapati sebuah pintu kaca besar yang kami yakini sebagai akses menuju penginapan kami. Dua pilihan di hadapan kami berempat, naik tangga ke lantai 4 tanpa penerangan sedikit pun atau naik elevator tua yang pintunya harus dibuka dan ditutup secara manual dan hanya bisa menampung 3 orang kurus secara bersamaan. Naik elevator tampaknya pilihan terbaik saat itu mengingat jumlah anak tangga dan barang-barang yang kami bawa. Sebuah bola lampu tiba-tiba menyala dengan agak kesusahan. Persis seperti di film-film horor. Kami pun sepakat untuk naik berdua-berdua karena tidak ada seorangpun yang mau naik elevator tersebut seorang diri.

Di lantai 4, yang konon merupakan resepsionis, lagi-lagi kami tidak menemukan seorang pun. Hanya beberapa pengumuman yang tertempel di papan dan petunjuk untuk memasuki kamar yang ternyata berada di lantai terpisah. Petualangan 15 menit yang mendebarkan ini akhirnya terbayar ketika kami memasuki kamar kami yang ternyata adalah sebuah apartemen yang cukup besar, lengkap dengan dapur, mesin cuci, bahkan tempat tidur bayi. Sebuah surat ucapan selamat datang kami temukan di meja serta penjelasan tentang persediaan makanan yang sudah disiapkan di dapur untuk sarapan selama kami menginap di sana. Sesungguhnya, saya tidak ingat pernah bertemu dengan siapapun di penginapan tersebut selain kami berempat. Bahkan saya juga tidak ingat bagaimana cara kami melunasi pembayaran. Hmmmm...

Parking Lot, Brussels, Belgia
Gara-gara menghabiskan waktu terlalu lama di Luxembourg, saya dan keempat teman saya ketinggalan kereta terakhir hari itu dari Brussels untuk kembali ke Rotterdam. Kami memutuskan untuk menunggu kereta berikutnya yang berangkat keesokan paginya dengan menghabiskan waktu di pusat kota Brussels. Dari stasiun Brussels Zuid, kami naik kereta ke stasiun Brussels Centraal, stasiun terdekat dengan pusat kota. Waktu sudah menunjukkan sekitar jam 10 malam, namun cuaca hangat musim semi di akhir pekan membuat kota Brussels tetap ramai di malam hari.

Setelah melakukan berbagai aktivitas random di sekitar Le Grand Place, sebuah bar yang ternyata salah satu bar terbaik di situ menarik perhatian kami untuk sekedar duduk-duduk, minum, mendengarkan live music, dan melakukan aktivitas random lainnya. Lepas tengah malam kami mulai bosan dan tampaknya sang pemilik bar pun sudah beres-beres, jadi kami memutuskan untuk meninggalkan bar tersebut tanpa tahu tujuan selanjutnya. Sementara itu, di luar sana kami dapati Le Grand Place yang beberapa jam yang lalu masih ramai dipenuhi manusia, sudah sepi dan kosong melompong. Kami berpikir untuk kembali ke stasiun sentral dan menunggu pagi di sana. Ditambah lagi, salah seorang teman saya ingin ke toilet.

Alangkah terkejutnya kami mendapati pintu stasiun tertutup rapat. Ternyata stasiun tidak buka 24 jam! Tidak patah arang, kami berlima berusaha mencari pintu masuk dari berbagai sisi. Karena pintu depan tertutup, kami memeriksa pintu samping dan pintu belakang, sampai pernah kami memasuki salah satu pintu yang terbuka namun ternyata itu bukan pintu menuju stasiun. Bahkan kami berjalan memutar melalui terowongan metro yang cukup menyeramkan demi menjalankan misi menemukan toilet untuk teman kami. Sebenarnya di sekitar stasiun terdapat toilet portable, berupa semacam tiang dengan 3 atau 4 cerukan untuk menampung cairan hasil ekskresi. Berhubung teman saya ini wanita, akan agak sulit untuk melakukannya sambil berdiri menghadap tiang.

Segala cara kami lakukan untuk menemukan toilet. Setelah tidak berhasil menemukan cara masuk stasiun dan menemukan toilet, kami mengebel hotel Le Meridien pada pukul 3 pagi untuk bertanya apakah kami bisa menggunakan toilet hotel yang biasanya ada di sekitar lobby. Petugas yang menjawab kami melalui interkom mengatakan bahwa tidak ada toilet di sekitar lobby. Agak aneh buat saya. Mungkin dia hanya malas membukakan pintu untuk 5 orang gelandangan pada pukul 3 dini hari. Cara kedua adalah mendatangi sebuah klab yang masih buka. Tampaknya sedang ada party malam itu sehingga untuk memasuki klab tersebut kami harus membayar sekitar 8 euro. Tentu saja kami tidak mau membayar sebanyak itu hanya untuk ke toilet. Entah berapa lama kami mencari toilet sampai hampir putus asa dan mulai tidur-tiduran di halte bis dan bangku jalan. Kami mencoba peruntungan terakhir dengan memasuki hotel Ibis yang tampaknya buka 24 jam, dan berjanji akan membeli sesuatu dari kafe hotel jika teman kami diperbolehkan menggunakan toilet (sebenarnya karena kami juga butuh tempat yang cukup nyaman untuk duduk dan menunggu matahari terbit). Ternyata resepsionis hotel dengan sangat ramah mempersilakan teman kami untuk menggunakan toilet, namun kafe hotel hanya diperuntukkan bagi tamu hotel. Hancur sudah harapan kami untuk beristirahat menunggu pagi. Untungnya kami menemukan sebuah ruangan yang ternyata adalah akses masuk ke parkir basement. Berhubung di dalam ruangan tersebut cukup hangat, kami memutuskan untuk duduk-duduk (di lantai) sambil menunggu pintu stasiun di buka.

Baru sekitar setengah jam kami menemukan posisi nyaman masing-masing, tiba-tiba dari arah jendela seorang pria paruh baya yang lebih terlihat seperti gelandangan menyeruak lewat jendela sambil menyerukan kata-kata yang kurang jelas karena sedang setengah mabuk. Setengah mati kami ketakutan dan membiarkan si pria mabuk itu berceloteh tentang kehidupannya. Mata saya sibuk memperhatikan tangan pria tersebut setiap kali dia mengeluarkannya dari balik jaket kumalnya. "Apapun bisa keluar dari balik jaket itu." pikir saya. Apalagi setelah dia menceritakan pekerjaan sebelumnya sebagai seorang bodyguard di Rusia, yang memberikannya beberapa luka tusuk, sayat atau tembak. Kami baru bisa berkata-kata ketika dia menawarkan untuk memperlihatkan bekas luka-lukanya. Tentu saja kata-kata yang kami ucapkan hanyalah sekedar "Nooooo!!!".

Waktu menunjukkan pukul 5 pagi dan si pria mabuk masih setia bermonolog di hadapan kami. Mengingat waktu, kami rasa ini waktu yang tepat untuk kembali ke stasiun. Kami pun berpamitan seadanya pada si pria mabuk. Sebelum berpisah dia berkata pada saya "You, marry her." dan menunjuk salah seorang teman wanita saya. Sementara pada teman pria saya dia berkata "You, marry her and her." sambil menunjuk pada 2 orang teman wanita saya yang lainnya. Kami hanya tersenyum dan berjalan meninggalkannya. Dari kejauhan, si pria mabuk masih melambaikan tangannya kepada kami.

The most convenient ones
Shangri-La, Jakarta, Indonesia
Definitely it is because of Satoo restaurant. They serve such an elaborate breakfast buffet with various choices of food. I call it heaven on earth. Kamar hotelnya sendiri sebenarnya standar (dibandingkan dengan hotel di kelas yang sama), tapi pemandangan kolam renang dan masjid di belakang hotel is I think the best you can get.

Grand Hyatt, Jakarta, Indonesia
Komentar yang sama untuk kamar hotel dan fasilitas. Tapi lokasi hotel ini luar biasa prima! With the view directly to the famous Bundaran HI, yeah you stare directly at the heart of the city. Above all, you just need to go down to the lobby, and you are 30 seconds away from the poshest shopping malls in the country. Okay, this statement just makes me realise of how real Jakartan I am.

Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta, Indonesia
Kamarnya super besar. Bahkan bisa pasang net dan main badminton di kamar mandi.

Swissotel, Bremen, Jerman
Seperti tidur di atas awan. Kombinasi tempat tidur, bantal, dan duvetnya benar-benar sempurna. Apalagi di musim dingin. Membuat Anda ingin berkemul terus dan tidak ingin beranjak dari tempat tidur.

Mercure, Camboriu, Brazil
Paling tidak saya mendapatkan dua Brazilian experiences dengan menginap di hotel ini. Yang pertama, pemandangan dari kamar hotel langsung ke pantai selatan (hiiiiyyyyy....) Brazil, di mana setiap pagi saya bisa jogging sepanjang pantai dengan pemandangan yang menakjubkan (baca: Gisele Bundchen and Adriana Lima look alike ladies). Yang kedua adalah the breakfast buffet. Not as elaborate as Satoo or any other 4/5 star hotels in Jakarta, but they made me feel really healthy. Ukuran buffet tidak terlalu besar, namun menu sarapan yang disajikan beragam dan super sehat. Dimulai dengan buah-buahan tropis dan hasil olahannya, lalu berbagai macam sereal seperti muesli dan oat, kacang-kacangan, roti, any kind of curds, dan scrambled egg. Makanan kurang sehatnya sangat minimum. Hanya ada satu tray untuk sosis babi atau bacon (tidak disajikan bersama-sama dalam satu hari), and my guilty pleasure, the Brazilian cheese balls. Sebenarnya cheese balls ini hampir sama dengan yang dijual di Roti Boy. But since it's typical Brazillian snack, I ate them everyday. Ketika sarapan dan selama bekerja di kantor.

Nut's Place, Tallinn, Estonia
Probably the best hostel I have ever stayed in. Hostel ini berlokasi di sebuah apartemen modern di tengah-tengah distrik Viru, a business and commercial district in Tallinn. Dengan harga yang sangat murah, saya menjadi satu-satunya tamu di hostel tersebut pada pertangahan musim dingin 2011. Jadi sebenarnya seperti memiliki apartemen pribadi, karena di sore hari sang resepsionis pulang, dan datang besok paginya untuk membersihkan common room dan kamar mandi. I think this hostel is also one of the reasons I love Tallinn so much.

Monday, May 27, 2013

Don't tell me I'm flying to Beijing!

Setelah 2 minggu menghabiskan waktu di sebuah resort mewah di kawasan Arizona (jangan iri, karena tidak benar-benar mewah, dan sebagian besar waktu saya harus bekerja dan menghadapi counterpart yang sangat menyebalkan), saya benar-benar bahagia untuk kembali ke Belanda, basecamp saya saat ini. Kalau dipikir-pikir, tidak pernah saya merasa begitu bahagia untuk terbang ke Belanda sampai saat itu. Bahkan saya tidak peduli kalau barang yang saya pesan on-line tidak bisa dikirim sebelum saya harus meninggalkan Amerika. I just did't care. I had been through too many things in these last 2 weeks. Just send me back to where I belong (or simply because I know I will be back in less than a month, so I still have the chance to pick up my stuff from Amazon).

Pagi itu, dengan semangat saya check-out dan mengingatkan bos saya untuk pesan taksi ke bandara (yeah, who do you think the boss is?). Kami masih punya waktu 2 sampai 3 jam untuk menyelesaikan pekerjaan dan meeting dengan orang perusahaan seberang. Jam 11 siang kami kembali ke hotel untuk mengambil barang-barang dan langsung berangkat ke bandara. Pak supir yang berperawakan besar sudah menunggu dengan manis di lobby hotel dan memarkir taksinya yang ternyata RollsRoyce (woohoo!!!) vintage (baca:butut). Beliau membantu kami memasukkan barang-barang ke bagasi mobil, dan saat itulah saya tahu bahwa dia seorang muslim. Sebagai sesama muslim rasanya pengen banget ngasih tau bahwa saya juga muslim loh! Tapi dengan bos saya yang Belgia totok, saya rasa suasananya akan menjadi aneh. Selain itu, saya juga agak malas kalau harus mengalami hal serupa yang saya alami seminggu sebelumnya ketika supir taksi yang saya tumpangi juga seorang muslim.

Jadi, seminggu sebelumnya saya memutuskan untuk menghabiskan hari Minggu dengan mengikuti tour ke Grand Canyon. Berhubung hotel saya ini agak di antah-berantah, saya harus naik taksi ke pick-up point terdekat, begitu pula ketika saya pulang ke hotel pada malam harinya. Ketika meminta tolong respsionis hotel untuk memesankan taksi pulang, saya berharap akan mendapatkan taksi yang sama bagusnya dengan ketika saya berangkat pagi itu. Sebuah taksi mendekat, dan pak supir yang orang Amerika Afrika bertanya apakah saya yang memesan taksinya. Karena saya satu-satunya orang yang duduk di situ, juga karena saya ingin cepat-cepat kembali ke hotel, langsung saja saya bilang iya, dan duduk di taksinya. Taksi baru saja keluar pelataran kompleks, ketika saya memberi tahu tujuan (atau mungkin sebenarnya Pak Supir duluan yang bertanya tujuan saya), dalam dialog yang kurang lebih sebagai berikut dan semuanya terjadi dalam bahasa Inggris:

Supir: Where are you going?
Saya: Crowne Plaza San Marcos please. In Chandler.
Supir: Lewat jalan tol nomor 11 kan?
Saya: Errrr.... (dalam hati: meneketehe!!!!) I don't know
          It's in Chandler, right in the center (dan saya sebutkan alamat lengkap hotel saya tersebut)
Supir: Can you check your GPS? You have GPS?
Saya: (dalam hati: WTH! bukannya harusnya sampeyan yang punya GPS ya?)
          No, the GPS in my cellphone is not working
Supir: Kepriben toh sampeyan, mau pergi-pergi ko ga tau jalan?
Saya: (khamfredh nih Pak Supir, bukannya yang harus tau jalan situ ya?)

Akhirnya Pak Supir memutuskan untuk menelepon rekan sejawatnya, dan mulai berbicara dalam bahasa yang sangat aneh. Saya bukan ahli bahasa, tapi bahasa yang dia gunakan baru pertama kalinya saya dengar seumur hidup. Seperti campuran bahasa Arab dan bahasa Klingon. Setelah menutup teleponnya, Pak Supir seperti mendapatkan pencerahan. Dia mengkonfirmasi apakah kami berada di jalan yang benar, dan saya mengiyakan saja meskipun hanya dengan 30% keyakinan. Saya lebih tertarik dengan bahasa apa yang barusan dia gunakan dalam percakapan di telepon. Entah bagaimana, tapi akhirnya saya menemukan momen yang tepat untuk bertanya negara asal dia. Tentu saja informasi ini saya tukar dengan memberi tahu asal negara saya. Pak Supir yang bernama Omar ini ternyata berasal dari Somalia. Satu pertanyaan tentang asal negara ini saja mampu memancing Omar untuk bercerita dengan berapi-api bahwa dia orang Somalia, dia bangga dengan identitasnya, dia bangga dengan agamanya, betapa dia sangat rindu kampung halaman dan ingin segera pulang ke sana untuk selama-lamanya. Yeah, kurang lebih sama dengan apa yang saya rasakan.

Mengetahui saya berasal dari Indonesia dan juga seorang muslim, dia semangat sekali melontarkan bermacam-macam pertanyaan sulit. Ternyata dia berminat untuk mengimpor barang dari Indonesia. Pertanyaannya bermulai dari harga-harga barang di Indonesia, seperti pompa air, mesin pembuat jus, mesin pembuat samosa, sampai satu stel jas baru. Benar-benar membuat saya kewalahan. Malah ketika kami membahas mesin pembuat samosa yang saya tidak pernah tahu wujudnya seperti apa, dia sempat kesal karena saya tidak tahu salah satu bahan yang dia sebutkan. Sesuatu yang terdengar seperti "bashak", dan dia menjelaskan bahwa itu makanan Nabi Isa a.s. yang diceritakan dalam Al Qur'an, bahkan dia menyitir salah satu ayat. Saya masih tidak mengerti juga apa yang dia maksud, sampai dia bilang "Kamu ngga pernah baca Al-Quran ya?!". Jedaaaaaaarrrrrr....... Sampai di sini saja perjumpaan kita Pak Supir. Anda telah melukai perasaan saya. Selain itu, kami juga sudah sampai di tujuan.

Kembali ke hari di mana saya harus terbang ke Amsterdam, akhirnya sampailah kami di Phoenix Sky Harbour Airport, the friendliest airport in America (mereka yang bilang sendiri nih). Setelah check-in, saya dan bos saya berjalan menuju semacam immigration check, but I'm not sure it's immigration check because they didn't even check my visa or my permit in Belanda (sebagai pemegang paspor Indonesia yang tinggal di Belanda, saya tidak punya visa Belanda di paspor saya, melaikan kartu izin tinggal yang biasanya di periksa petugas imigrasi negara keberangkatan). Saya di sambut oleh seorang petugas yang tampak kepanasan, kelelahan, sehingga ekspresi wajah yang ditunjukkannya pun menjadi menyebalkan. Selamat datang di bandara paling ramah se-Amerika.

Setelah berhasil melalui pemeriksaan keamanan yang panjang lebar, di mana bos saya dipaksa untuk membagasikan tasnya atau membuang pisau cukur yang baru dibelinya seharga $200, kami pun bisa duduk dengan tenang menikmati hamburger yang konon menurut teman bos saya merupakan burger terenak (ya, nama restoran burgernya adalah Wendy's. Doh!). Good call of my boss, karena dia pikir di pesawat antarnegara bagian (kami harus terbang ke Minneapolis dulu sebelum ke Amsterdam) tidak akan disajikan makanan. Benar saja, 3 jam penerbangan tanpa makanan sedikitpun, ditambah kedatangan pesawat agak terlambat. Saya tidak yakin berapa lama pesawat terlambat, namun hal ini membuat kami berdua cukup khawatir. Dengan jadwal normal, kami hanya memiliki waktu satu jam untuk berganti pesawat di Minneapolis. Dengan keterlambatan ini kami hanya punya waktu sepuluh menit untuk pindah pesawat! Kami tengah berlari di sepanjang koridor bandara Minneapolis-Saint Paul ketika saya mendengar nama depan saya di panggil. Saya tidak punya waktu lagi untuk mengecek ulang pintu keberangkatan mana yang harus saya tuju, sampai akhirnya saya sampai di Gate 6 yang saya yakini sebagai gate yang benar. Seorang pria tua penjaga pintu keberangkatan, berperawakan Jepang dan bahasa Inggris beraksen Jepang melambaikan tangannya. Tanpa berpikir dua kali saya masuk. Sesampainya di pintu pesawat, seorang pramugari berpenampilan Asia juga menyambut saya dan mempersilakan saya masuk. Semua orang memandang saya dengan sinis, karena saya menunda keberangkatan pesawat. Penumpang pertama yang saya perhatikan juga beberapa orang dengan wajah Asia. Ketika saya hendak menyimpan tas saya di kompartemen pesawat, 2 orang pramugari membatu saya untuk menyimpankan jaket saya dan menawari saya minuman. Lagi-lagi salah satunya berwajah Asia. Sekarang saya mulai khawatir, karena bos saya juga tidak kunjung muncul, dan tempat duduk di samping saya sudah diisi oleh seorang kakek Amerika. Jangan bilang ini pesawat ke Beijing!

Masih dengan nafas memburu, saya menunjukkan boarding pass saya ke pramugari yang menyajikan minuman selamat datang, dan bertanya: "This is the correct flight, right?". Sang pramugari tersenyum, dan berkata "Yes, this is the flight to Amsterdam". Fyuuuuuhhhhh.... Ketika saya baru saja duduk, sang kakek Amerika berwajah ramah di samping saya menyapa saya dengan dialog pembuka "You are so late". Makasih deh.

Ngga semua yang lo pikir bagus itu bagus


I’m not sure if it’s because I have travelled too much or the land was just not that interesting, but the time I stepped in the US, I just didn’t feel the same excitement I felt when I arrived in some other places for the first time. The possible reasons are the hassles of getting in there, from the complication in visa application which at the end your luck determined whether you are going to get the visa, up to the boarding time when I still had to go through an interview, if not interrogation, with an officer about the reason of my departure to the country, my language proficiency, my history, or even the size of my grandfather undershirt. Lucky enough she didn’t ask me the detail items in my carry-on luggage. A friend of mine was refused to board until she could mention the things she packed in her luggage. It took longer than she expected as the officer insisted that there was one item she could not name. Turned out it was a pocket camera that she put in her bag! Whatever…

My advice, bring all supporting documents that you think will be asked or will be helpful to convince the officer that you have valid reason to visit the country. In my case, I’m on business trip. So, instinctively, I bring my business card, sponsorship letter from my employer, and invitation letter from my business partner in the US and yes, the officer asked for them! Proudly I handed them to her, she did a quick check, and voila! “Thank you for your cooperation sir. You may board now…”

Taking the national airlines of my destination country, I felt so blessed being Asian which national airlines well maintain the interior of the aircraft and the flight attendances are generally attractive. Nevertheless, I still had a good flight with hospitality and delicious in-flight meals. Landing in Portland, nothing big in the immigration process, and I thank God for that recalling what just happened in the Boston Marathon the previous week and my Muslim militant name. What interest me were restaurants serving big hamburger (this is what I expect from the US! Yeay!) and a quite decent bar where I could find varieties of local beers just for the sake of sight-seeing. I don’t drink but my boss does, so we decided to start our American experience by hanging out in the bar while waiting for the connecting flight.

The last time I flew an aircraft with propellers was 3 years ago with the national airlines from a third world country and I could understand that. I was quite surprised to find out that I have to fly with the same aircraft here, but okay. It’s not bad at all (if you ever travelled with me, you would know my standard for good /bad services, haha…). Using self check-in machine, I got the lucky seat number 22 which was at the end of the aisle. And I have the whole row for me. Two-hour flight in a minimum service airline (comparable to Ryanair, I would say), I could live with that….